KSP Evaluasi Izin PT SPS di Sipora Usai Diprotes Masyarakat Adat

Padang – Kantor Staf Presiden (KSP) akan menggelar rapat lintas kementerian untuk mengevaluasi izin usaha pemanfaatan hutan (PBPH) PT Sumber Permata Sipora (PT SPS) di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai. Rapat ini menyusul penolakan masyarakat adat terhadap operasional perusahaan tersebut.

KSP sebelumnya telah mengirim utusan untuk menemui masyarakat adat Mentawai yang terdampak konsesi PT SPS. Pertemuan berlangsung awal Juli lalu.

Masyarakat adat dari Desa Saureinu, Desa Matobek, yang diwakili Uma Saureinu, Uma Usut Ngaik, dan Uma Rokot, tegas menolak kehadiran PT SPS.

Penolakan ini didasari tumpang tindih area konsesi dengan hutan adat yang telah bersertifikat dari Kementerian Kehutanan seluas 6.907 hektare.

“KSP memastikan hutan adat bersertifikat akan dikeluarkan dari area konsesi jika perusahaan beroperasi,” ujar Nulker Sababalat, anggota Uma Saureinu.

Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai, Rifai Lubis, mendesak pemerintah mencabut PBPH PT SPS. Ia menilai izin tersebut berpotensi merusak ekosistem Pulau Sipora yang luasnya hanya 615,18 km2.

Rifai menyoroti UU Nomor 27 Tahun 2007 yang memprioritaskan pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk konservasi, pendidikan, penelitian, budidaya laut, pariwisata, dan perikanan.

“Namun, negara memberikan izin perusahaan mengelola hutan seluas sepertiga Pulau Sipora,” tegasnya.

Rifai bersama Koalisi Sumatra Barat menolak penebangan hutan alam di Pulau Sipora. Mereka khawatir hal ini akan memperparah krisis ekologis, meningkatkan risiko bencana, dan mengancam mata pencaharian masyarakat adat.

“Kita berharap izin PBPH ini disetop dan tidak lanjut ke tahap selanjutnya,” pungkas Rifai.

Diketahui, konsesi PT SPS mencakup area seluas 20.706 hektare.

Komentar