Jakarta – Pemerintah terus berupaya mengatasi persoalan banyaknya Anak Tidak Sekolah (ATS) di berbagai tingkatan pendidikan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) periode 2024-2029 menjadikan hal ini sebagai salah satu fokus utama dalam menjalankan tugasnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diperbarui pada 26 Mei 2024, angka ATS pada tahun ajaran 2022-2023 menunjukkan bahwa 0,69% anak di tingkat Sekolah Dasar (SD), 6,93% di Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan 22,06% di Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat tidak bersekolah.
ATS, yang mencakup anak-anak usia 5-18 tahun yang tidak pernah atau sudah tidak lagi mengenyam pendidikan, merupakan isu mendesak yang perlu segera ditangani.
Kondisi ini berpotensi menghambat pencapaian Indonesia Emas 2045, serta memicu kemiskinan berkelanjutan, meningkatkan pengangguran, memperlebar kesenjangan sosial, dan membatasi pertumbuhan ekonomi.
Muhammad Iqbal, S.Pd, seorang guru mata pelajaran di UPT SMPN 6 Koto XI Tarusan, Pesisir Selatan, menjelaskan pada Jumat (27/6/2025) bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka ATS di Indonesia.
“Sistem pendidikan yang belum inklusif menjadi salah satu penyebabnya,” jelasnya.
Dia menambahkan pendidikan inklusif yang seharusnya mengedepankan lingkungan belajar yang relevan dan mengurangi diskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus masih belum diterapkan secara optimal.
Selain itu, faktor geografis juga memainkan peran penting.
Anak-anak yang tinggal di daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi seringkali terpaksa membantu orang tua mencari nafkah, yang mengakibatkan mereka putus sekolah atau bahkan tidak pernah bersekolah sama sekali.
Faktor ekonomi juga menjadi penghalang. Meskipun pemerintah telah meluncurkan berbagai program bantuan seperti Program Indonesia Pintar (PIP), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan beasiswa, masih banyak keluarga yang kesulitan untuk menutupi biaya tambahan seperti seragam, transportasi, dan buku.
Kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan juga menjadi faktor penghambat.
Masyarakat di daerah terpencil seringkali lebih memprioritaskan pemenuhan kebutuhan ekonomi jangka pendek daripada manfaat jangka panjang yang bisa didapatkan dari pendidikan.
Iqbal menambahkan bahwa masalah ini menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Pemerintah perlu memastikan pemerataan akses pendidikan, terutama di daerah pedesaan, dengan memperhatikan aksesibilitas, transportasi, dan fasilitas sekolah.
Selain itu, penyaluran beasiswa juga harus tepat sasaran.
“Program PIP, KIP, maupun beasiswa harus lebih diperhatikan agar tidak salah sasaran,” tegasnya pada Jumat (27/6/2025).
Ia menekankan pentingnya sistem seleksi yang transparan untuk memastikan bahwa beasiswa diterima oleh mereka yang benar-benar membutuhkan.
Pendidikan inklusif dan ramah anak juga perlu ditingkatkan.
Sekolah harus menyediakan fasilitas yang memadai bagi anak-anak penyandang disabilitas, serta memberikan pelatihan kepada guru tentang cara menangani anak inklusif.
Penyelesaian masalah pendidikan di Indonesia memerlukan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk membangun sistem pendidikan yang merata dan inklusif, terutama di daerah tertinggal, terpencil, dan terluar.
Investasi besar perlu dialokasikan untuk meningkatkan kualitas guru, sarana prasarana, serta kurikulum yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat harus diperkuat agar kebijakan pendidikan tidak hanya bersifat top-down, tetapi juga responsif terhadap kondisi lokal.
Pendidikan harus menjadi alat pemerataan sosial, bukan justru memperlebar kesenjangan. Upaya ini juga harus diiringi dengan pemanfaatan teknologi untuk menjangkau wilayah yang sulit diakses, serta program pendampingan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu agar mereka tidak terpaksa putus sekolah.
Dengan Mendikbud yang baru, siswa, guru, orang tua, dan masyarakat menaruh harapan besar untuk pendidikan yang lebih baik, yang tidak hanya memastikan akses, tetapi juga relevan dengan kebutuhan siswa yang bermakna dan merdeka.
Komentar