Simpang Ampek – Di usia kemerdekaan ke-79, potret kemiskinan masih menghantui sebagian masyarakat Indonesia. Rudi Hartono (46), seorang ayah dengan sepuluh anak di Pasaman Barat, merasakan getirnya hidup dalam serba kekurangan.
Rudi, warga Parit Sigalangan, berjuang mencari nafkah sebagai pengumpul barang bekas. Botol plastik, kardus, dan besi tua menjadi tumpuan hidupnya.
“Untuk makan saja susah, apalagi untuk biaya sekolah anak-anak,” ungkap Rudi dengan nada pilu, Selasa (19/8).
Keluarga Rudi tinggal di rumah yang memprihatinkan. Dinding papan lapuk dan atap bocor menjadi saksi bisu perjuangan mereka. Saat hujan tiba, seisi rumah harus berdesakan mencari tempat kering.
Istri Rudi mengungkapkan kekecewaannya atas janji bantuan yang tak kunjung datang. “Sudah berkali-kali orang datang minta KTP dan KK, katanya mau ada bantuan. Tapi sampai sekarang hanya janji palsu.”
Ironisnya, keluarga ini sudah lima tahun tidak menerima bantuan sosial dari pemerintah, termasuk Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar (KIP), maupun beras untuk keluarga sejahtera (rastra).
Tokoh masyarakat setempat, Rangkuti, menyayangkan kondisi yang dialami keluarga Rudi. “Mereka sudah lama hidup seperti ini, tapi tidak ada uluran tangan pemerintah yang benar-benar hadir,” ujarnya.
Rangkuti menambahkan, “Kemerdekaan ini tampaknya hanya dinikmati oleh para pejabat dan orang-orang besar saja.”
Kisah Rudi Hartono menjadi cermin buram di balik gemerlap perayaan kemerdekaan. Di tengah kemeriahan, masih ada rakyat yang berjuang melawan kemiskinan dan keterabaian.







Komentar