Oleh Roni Aprianto / Wartawan Madya
Sejarah mencatat Sungai Batanghari adalah sungai terpanjang di Pulau Sumatera. Panjangnya sekitar 800 kilometer. Mengular panjang dari hulu Gunung Rasan, Kabupaten Pesisir, melewati Kabupaten Dharmasraya, dan bermuara di Selat Berhala, Provinsi Jambi.
Dulu, Sungai Batanghari merupakan salah satu urat nadi kehidupan bagi masyarakat. Airnya sebening kaca. Arusnya tenang, dan di sepanjang tepian tumbuh subur pepohonan liar meneduhkan.
Sungai Batanghari bukan hanya sekedar sumber air dan mata pencaharian penduduk, tetapi juga bagian dari identitas budaya. Di kedalam dasar dua meter tampak indah, beragam spesies ikan, besar dan kecil liar berlarian hilir mudik.
Anak-anak mandi berenang di sore hari, kaum ibu mencuci pakaian saat matahari terbit, dan kaum bapak menebar jala sebelum matahari terbenam di upuk barat. Dulu, masyarakat menggantungkan hidup dari hasil sungai berupa ikan dan mendulang emas secara tradisonal. Kini, pemandangan itu telah sirna serupa asap diterpa angin.
Sungai Batanghari tidak seindah dulu. Air yang dulunya jernih, kini tercemar, berubah menjadi keruh kecokelatan seperti minuman kopi susu yang dijajakan di kedai kedai pinggir jalan. Pulau pulau kecil yang dulunya menjadi daya tarik estetik ikut punah lantaran aktivitas tambang galian C dan pertambangan emas tanpa izin. Alat berat (excavator) meraung- raung seperti singa lapar mengeruk dasar sungai.
Dampaknya, ekosistem perairan rusak, spesies ikan yang dulunya menjadi sumber kehidupan sirna bak ditelan bumi, dan kehidupan biota air kian terancam. Perubahan Sungai Batanghari, dulu dan sekarang tentunya tidak terjadi secara tiba-tiba. Ini terjadi lantaran dari ketidakpedulian pihak pihak terkait, mungkin peduli tapi tidak serius.
Ketidakpedulian melahirkan kurangnya pengawasan terhadap penambangan liar, dan lemahnya penegakan hukum yang berakibat terjadi kerusakan terus menerus tanpa kendali.
“Perubahan warna air Sungai Batanghari ini terjadi sejak tahun 2000 an. Sampai saat ini tak lagi pernah jernih,” ungkap salah seorang penduduk setempat, Apri bebarapa waktu lalu.
Menurut Apri, dulu air keruh hanya karena hujan di hulu. Namun kini hujan tak hujan air tetap saja keruh, mungkin karena banyak aktivitas tambang disepanjang aliran sungai.
“Kini masyarakat tak lagi berani mandi, mencuci di sungai, takut terpapar penyakit. Kalau boleh jujur, masyarakat rindu dengan Sungai Batanghari yang dulu, airnya bening, ikannya banyak. Kami hanya bisa berharap pihak terkait bisa mengembalikan keindahan sungai yang dulu,” pungkasnya.
Sudah saatnya kita membuka menutup mata dan peduli. Sungai Batanghari adalah warisan alam yang tak ternilai harganya. Ini bukan sekadar aliran air. Ia menyimpan sejarah, kehidupan, peradaban dan harapan. Jika kita ingin mengembalikan kejayaannya, diperlukan langkah nyata, mulai dari penegakan hukum terhadap pencemar lingkungan, pengelolaan limbah yang lebih baik, hingga edukasi lingkungan kepada masyarakat.
Sungai Batanghari memang tak seperti dulu. Namun, masih ada harapan untuk memulihkannya. Semua tergantung pada seberapa besar tekad kita untuk bertindak. Bukan sekadar menyesali perubahan, tetapi benar-benar berjuang agar sungai ini kembali menjadi sumber kehidupan yang lestari bagi generasi mendatang.
Regulasi mengatur dengan tegas, mana yang boleh ditambang dan yang tidak boleh ditambang. Yang tidak boleh ditambang adalah yang berfungsi lindung seperi Sempadan Sungai ( Pinggiran) dan Badan Sungai. Hal ini merujuk kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 tentang penyelenggaran perlindungan dan pengelolaan lingkungan.
Pelaku tambang juga wajib mengantongi dokumen eksplorasi, Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang ( PKKPR), Amdal ( Persetujuan Lingkungan), izin produksi dan izin transportasi.
Tingkat Pencemaran air sungai Bedasarkan Data DLH Dharmasraya dan penyebabnya.
Batang Momong Hilir Kecamatan IX Koto Silago, PH 78, BOD 2,9 PPM, COD 14,6 PPM, TSS 104 PPM, DO 3,38 PPM dan Nitrat 0, 277 PPM. Ini masuk dalam data air baku yang mutunya masih baik.
Kemudian sungai yang tingkat pencemarannya mengkawatirkan yakni, Dihilir Sungai Batang Momong, Sungai Batang Pangian hilir, Sungai Batanghari, Sungai Batang Mimpi, dan titik Sungai Batanghari ( bendungan Batu Bakawuik. Ini hasil uji labor DLH pariaman.
Pencemaran air sungai karena aktivitas tambang pasir, tambang emas, tambang sirtukil, dan pembuangan sampah.
Tingginya tingkat pencemaran air bertambah ketika cuara panas, musim kemarau sehingga debit rendah sementara aktivitas pertambangan dan pembuangan sampah tidak berkurang ( ***)







Komentar