Padang – Di tengah arus modernisasi, revitalisasi surau sebagai pusat pendidikan dan sosial di Minangkabau menjadi krusial. Bangunan tradisional ini, yang telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat, memiliki peran sentral jauh sebelum masuknya Islam.
Muhammad Zaid Iqbal, M.Ag, mahasiswa doktoral (S3) Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi, pada Jumat (27/6/2025) menjelaskan bahwa surau memiliki fungsi ganda. “Keberadaan surau sudah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Minangkabau bahkan sebelum kedatangan Islam,” ujarnya.
Surau, yang umumnya berukuran besar dan terletak strategis di dekat pemukiman, sungai, atau kolam, berfungsi sebagai pusat pembelajaran, pengembangan keterampilan, tempat singgah musafir, serta wadah interaksi sosial.
Sejak masa pra-Islam hingga setelahnya, surau menjadi pusat penting bagi pendidikan dan pengembangan keterampilan. Musafir dan pedagang yang singgah memberikan informasi berharga tentang dunia luar kepada para pemuda di surau.
Para pelajar di surau dikenal sebagai “orang siak,” sementara ulama yang memimpin dan mengajar agama disebut Syekh. Pendidikan di surau bersifat gratis, mencakup pendidikan, akomodasi, dan makan. Orang siak jarang memberi uang kepada Syekh, kecuali sebagai bentuk terima kasih dari keluarga. Azyumardi Azra menjelaskan bahwa kebutuhan hidup orang siak dipenuhi oleh sumbangan bahan makanan dari masyarakat sekitar surau.
Syekh, sebagai pemimpin surau, fokus pada pengajaran agama, dan kebutuhan hidup keluarganya dipenuhi dari sumbangan masyarakat. Dukungan ini bahkan seringkali berlebih, memungkinkan Syekh untuk menunaikan ibadah haji.
Sistem pengajaran di surau menggunakan metode halaqah, dengan fokus awal pada membaca Al-Qur’an dan penguasaan huruf hijaiyah. Terdapat dua tingkatan pengajaran, yaitu pengajaran Al-Qur’an awal dan pelajaran lanjutan yang lebih mendalam. Pengajaran Al-Qur’an mengenalkan ejaan huruf hijaiyah, cara membaca Al-Qur’an, tata cara ibadah, dan dasar tauhid. Anak-anak belajar di surau pada malam hari dan setelah shalat Subuh.
Pada tingkat lanjutan, pendidikan mencakup membaca Al-Qur’an dengan irama (tilawah/mujawad), seni lagu qasidah, barzanji, tajwid, serta pengajian kitab perukunan. Guru ahli yang disebut Qori mengajarkan pelafalan huruf Al-Qur’an dengan suara indah. Syekh Burhanuddin dari Batu Hampar, Payakumbuh, dikenal sebagai Qori yang mahir dalam seni tilawah Al-Qur’an.
Tujuan pendidikan surau adalah mengajarkan murid membaca Al-Qur’an dengan lancar dan berirama, yang membutuhkan waktu dua hingga tiga bulan. Setelah mengenal huruf dan harkat, mereka diajarkan membaca juz ‘Amma, dimulai dengan surah al-Fatihah hingga ad-Dhuha, lalu membaca Al-Qur’an pada mushaf hingga khatam.
Revitalisasi, yang didefinisikan sebagai perubahan yang mengandung penguatan dan pengembangan menuju keadaan yang lebih baik, menjadi penting di tengah perkembangan zaman yang membawa kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, seni, arsitektur, dan metodologi.
Era modern, yang dimulai sekitar abad ke-16 hingga abad ke-20, membawa perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang masif. Namun, di balik kemajuan ini, banyak hal yang mulai ditinggalkan, termasuk surau. Bangunan surau masih ada, tetapi banyak yang tidak berfungsi lagi dan dialihkan menjadi mushalla atau masjid. Meskipun demikian, beberapa surau masih digunakan dengan sedikit renovasi.
Pendidikan Islam saat ini banyak dilakukan di sekolah, tetapi pendidikan Islam di masjid juga tetap eksis. Revitalisasi pendidikan surau berarti menghidupkan pendidikan Islam di luar sekolah, seperti di masjid dan mushalla. Pendidikan Islam yang diajarkan menanamkan nilai-nilai ajaran seperti di surau zaman dulu, menjadikan masjid atau mushalla sebagai pusat pendidikan Islam, pengembangan kemampuan, tempat berkumpul masyarakat, dan pusat kegiatan masyarakat. Sistem pendidikan surau harus tetap ada, meskipun bangunannya tidak eksis.
Komentar